Akibat peristiwa G30S, tekanan masyarakat juga dirasakan Sugiarto, putra ketiga Brigadir Jenderal Supardjo, salah satu petinggi militer yang terlibat Dewan Revolusi.
Ejekan dan cemoohan sempat jadi makanan sehari-hari selama kurang lebih setahun.
Satu bekas luka di punggung menjadi kenang-kenangan masa sulit itu.
Luka itu didapat saat ia melindungi adiknya dari tombak waktu terjadi amuk massa.
“Ah, tapi saya enggak mau cengeng cuma gara-gara itu,” kata Sugiarto yang enggan bercerita lebih lanjut.
Sikap tidak ingin meratapi nasib itulah yang selalu dibawa Sugiarto hingga kini.
Bahkan ketika kesulitan demi kesulitan terus menimpa keluarganya, sebagai anak yang sudah beranjak dewasa ia berusaha bertahan.
Semua karena ibunya, Triswati, yang selalu bersikap tabah menghadapi kenyataan ini.
“Terima semua ini sebagai takdir,” begitu selalu pesan janda Supardjo kepada anak-anaknya.
Sebagai istri tentara, ia sudah terbiasa hidup sendiri tanpa suami.
Di sinilah Sugiarto mengagumi kekuatan perempuan dibandingkan dengan lelaki.
Gara-gara Surat Mendagri, Drg Tak Bisa Jadi PNS
Kesulitan yang harus dihadapi Sugiarto sebenarnya tak kalah hebat.
Titel dokter gigi yang diperolehnya dengan susah payah tidak bisa dimanfaatkan karena terbentur Surat Keputusan (Instruksi) Menteri Dalam Negeri nomor 32 tahun (1981).
Peraturan yang masih berlaku sampai sekarang itu intinya melarang keluarga tahanan politik menjadi pegawai negeri.
Tapi lagi-lagi ia tidak mempersoalkannya.
Keengganan Sugiarto mengungkit masa lalu karena orang yang marah atau benci kebanyakan justru adalah mereka yang tidak mengerti permasalahan sebenarnya.
Apalagi masih ada orang-orang yang bersikap baik kepada keluarganya meski kedudukannya berseberangan.
Mereka adalah rekan-rekan ayahnya semasa di militer, seperti Ibrahim Adjie, HR Dharsono, atau keluarga Ibnu Sutowo.
“Saat itu mana ada yang berani dekat-dekat dengan keluarga tahanan politik. Takut dianggap berkomplot dan ujung-ujungnya diinterogasi,” kata Sugiarto yang berusia 15 tahun saat peristiwa G30S terjadi.
Ibrahim Adjie, mantan Panglima Siliwangi dan salah satu sahabat ayahnya, selalu menolong di saat kesulitan-kesulitan datang tiada henti.
Satu tindakan paling berani adalah memberikan uang pensiunnya kepada janda Supardjo, yang masih harus menghidupi 12 putra-putrinya.
Ia juga menikahkan salah seorang putranya dengan salah seorang putri Supardjo.
Karena kegundahannya, suatu kali Sugiarto pernah bertanya kepada Ibrahim, yang dipanggilnya Papi, “Pap, apa ayah saya bersalah?”
Yang ditanya menggeleng.
“Tidak, dia seorang professional army. Dia hanya melaksanakan tugas,” kata Ibrahim tegas.
Sebuah jawaban yang benar-benar melegakan Sugiarto.
Bangga Kepada Orangtua
Sebagai anak seorang perwira militer, Sugiarto juga merasakan kebanggaan terhadap sikap dan perilaku ayahnya.
Di tengah waktu yang terbatas karena sering bertugas menangani pemberontakan di daerah, ayahnya selalu menyempatkan diri memberi perhatian pada keluarga.
Sikapnya tegas dan berwibawa. Setiap ada masalah di antara anak-anaknya, ayahnya akan mengadili setiap anak untuk ditanya alasannya.
Bila ternyata bersalah, hukumannya adalah menulis. Menulis tentang apa saja. Bahkan kalau hasilnya bagus, malah diberi hadiah.
Setelah ayahnya menyerahkan diri dan diadili, pertemuan-pertemuan keluarga terakhir dilakukan di penjara.
Meski cuma bertemu satu jam, prosesnya tidak gampang. Izinnya bisa berbulan-bulan dan harus bergiliran dengan seluruh anggota keluarga.
Di saat-saat terakhir itulah Sugiarto menyaksikan ketegaran ayahnya sebagai seorang militer yang berjiwa pemimpin.
Bahkan hingga Mahkamah Militer Luar Biasa menjatuhinya hukuman mati, ayahnya tampak tetap tenang.
Sugiarto ingat, 15 Mei 1970, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi, seluruh keluarga berkumpul terakhir kali dalam suasana hangat.
Waktu yang diberikan lebih lama dari biasa, yaitu dua jam. Saat itu ayahnya memberi nasehat dengan memegang sebutir apel.
Ia menyuruh anak-anaknya untuk memecahkannya dengan genggaman tangan.
Tentu tidak berhasil. Setelah apel di potong-potong, gampang dipecahkan.
“Kalau keluarga sudah terpecah belah, maka kalian akan gampang dihancurkan,” pesan terakhir Supardjo yang diingat betul anak-anaknya.
Semula Supardjo meminta agar eksekusi dilakukan dengan mata terbuka. Tapi setelah dibicarakan dengan keluarga, niat itu urung dilaksanakan.
Saat itu Sugiarto sempat mengajukan permintaan terakhir, yaitu agar ayahnya mati secara gagah.
Pagi-pagi sekali setelah pelaksanaan eksekusi, Mr. Suwadji, pengacara Supardjo datang untuk memberitahu keluarga.
Ia juga khusus menemui Sugiarto. “Ayahmu matinya gagah,” katanya.
Sugiarto bangga, meski hingga kini ia mengaku tidak pernah tahu di mana kubur ayahnya.
“Tapi di mana pun jasad beliau, doa kita akan sampai juga,” kata pria berperawakan besar ini. (Tjahjo Widyasmoro)
Artikel tayang di Intisari.grid.id: Apakah Brigjen Supardjo Bersalah dalam G30S? Ini Jawaban Mantan Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie
sumber : http://wartakota.tribunnews.com